Senin, 26 November 2012

HAKIKAT MANUSIA DALAM ISLAM


A.    Konsep Hukum
        Pengertian Hukum Islam


Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang lain”, seperti menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang. Sedangkan secara istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.


Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku maupun kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.

Oleh karena itu, hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada hukum Islam, maka seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan termasuk perbuatan maksiat.


Konsep Hukum Islam


Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai macam persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat kebahagiaan dalam hidupnya.

Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah. Tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah bagi manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri (primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).

Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri berupaya untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

Sementara ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang memberi peluang bagi manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan ketika mereka mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri.

Sedangkan ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang menuntut manusia untuk melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak yang baik dan melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling sempurna.

Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam dengan fikih Islam.

Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi dua bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas, bahkan luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek yang berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam) di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan bunga bank.


Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri. Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.


Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga negara dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam perjalanan hidupnya.

B.     Sumber Hukum Islam
Secara etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu syai’in ‘ala syai’in (memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan. Secara terminologis adalah peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk hamba-Nya yang mukallaf. Kata hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata “syariah”, yang kemudian disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah Islam”, yaitu hukum Islam.
            Syariat Islam secara garis besar mencakup 3 hal:
1.    Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqida atau keimanan. Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam ghaib yang tidak bisa di jangau indra manusia.
2.    Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak. Potensi kebaikan yang ada di dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya.
3.    Ahkam Syar’iyyah ‘Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah) syariah dalam pengertian khusus. Petunjuk yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah Swt. Hubungan manusia dengan Allah dan sejenisnya atau lingkungannya.
Pada umumnya ulama mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah empat, yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat hanya tiga, yaitu al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat bahwa sumber pokok hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam kenyataan dapat titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.
                        Perlu diketahui bahwa urutan penyebutan sumber hukum Islam, menunjukan urutan, kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya. Karena itu, apabila ada masalah pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan prinsip dalam urutan sumber hukum Islam yaitu, al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan Ijtihad.

1.    Al-Qur’an
        Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca.
        Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17 -75:18 ).
        Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasukibadah”.
        Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
        Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
        Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria, antara lain:
a.         Al-Qur’an adalah firman Allah atau Kalamullah
b.         Al-Qur’an adalah mukjizat (sesuatu yang tidak dapat ditandingi)
c.         Al-Qur’an disampakan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Sementara kita menerima Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir ( wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada sahabat-sahabatnya dan jaminan keaslian isinya)
d.        Al-Qur’an di awali dengan surah al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
e.         Al-Qur’an diperintahkan untuk di baca (selain diperlajari dan diamalkan) karena, membaca al-Qur’an merupakan ibadah.
Fungsi al-Qur’an, antara lain :
a.         Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk (hudan)
b.         Al-Qur’an berfungsi sebagai penjelas (tibyan)
c.         Al-Qur’an berfungsi sebagai pembela (furqon)
        Oleh karena al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt dan merupakan landasan syari’at Islam, maka ada beberapa prinsip mendasar dalam menetapkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:
a.         Umum
Maksudnya syari’at Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan berlaku bagi segenap umat manusia diseluruh penjuru dunia.
b.         Orisinil dan Abadi
Maksudnya syari’at Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan tidak tercemar oleh usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
c.         Mudah dan tidak memberatkan
Hal ini sesuai firman Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya”.
d.        Keselarasan dan keseimbangan
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi”.
e.         Berproses dan bertahap
Yakni secara beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak. Artinya Al-Qur’an dalam menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk mempersiapkan manusia menuju pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari hukum itu.
        Ditinjau dari sumber hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber hukum utama. Sebagai landasan hukum, kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama berarti bahwa al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di samping sebagai sumber hukum, al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah, ibadah dan memberi motivasi bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. As-Sunnah atau Al-Hadist
        Kata sunnah, secara etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi Sunnah Rasul adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut sunnah rasul. Selain istilah sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang berarti berita atau catatan tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi. Sebagian ulama membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan kepada Nabi. Walaupun hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan Nabi secara terus-menerus.
a. Macam-macam sunnah/hadis
1) Ditinjau dari segi bentuknya
· Sunnah Qauliyah, yakni perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam berbagai kesempatan
· Sunnah Fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan Nabi
· Sunnah Taqririyah, yakni sikap Rasulullah membiarkan perbuatan sahabat yang menunjukkan bahwa beliau menyetujui atau mengizinkannya.
2) Ditinjau dari segi kualitasnya:
· Shaih, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil, sempurna hafalannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak terdapat keganjilan
· Hasan, ialah hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang sempurna hafalannya , sanadnya bersambung, tidak terdapat keganjilan.
· Dha’if, ialah hadis yang diriwayatkan parawi yang lemah (tidak adil), terputus sanadnya, mempunyai cacat atau kehilangan salah satu syarat hadis hasan.
3) Ditinjau dari segi diterima atau ditolak:
· Maqbul, ialah hadis yang diterima dan dapat dijadikan hujjah atau atau dalil.
· Mardud, ialah hadis yang ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah atau dalil.
4) Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari:
· Marfu, ialah hadis yang disadarkan kepada Nabi
· Mauquf, ialah hadis yang disadarkan kepada para sahabat
· Maqtu, ialah hadis yang disampaikan kepada tabi’in
5) Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
· Mutawatir, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang banyak yang tidak terhitung.
· Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak sebanyak derajat mutawatir.
· Ahad, ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat masyur.
b. Fungsi dan Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
· Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ada di al-Quran
· Memberi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini berfungsi sebagai penafsir, membatasi atau mengecualikan.
· Menetapkan hukum yang tidak ada penjelasannya yang ada di dalam al-Quran

3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai akar kata yang sama yaitu jahada yang artinya berusaha sekuat tenaga, bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad diartikan sebagai pengerahan kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad lebih cenderung pada segi ilimiah.
Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara maksimal dalam mengungkap kejelasan dan memahami ayat al-Quran dan sunnah.
         
a. Perlunya ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga, diakui keberadaannya dalam Islam sebagai hasil akal pikiran merupakan sumber pengembangan nilai-nilai Islam yang berlandaskan al-Quran dan sunnah.
Perlunya ijtihad disepakati para ulama, karena tak dapat tidak perkembangan pemikiran manusia yang berkembang sesuai dengantuntutan zaman

b. Ruang lingkup ijtihad
Ijtihad diperlukan untuk menetapkan suatu ajaran dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang belum pernah terjadi sebelum zaman Nabi Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan hukumnya seperti masalah inseminasi, penggantian kelamin, donor mata, dan bayi tabung. Semua hal tersebut memerlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.

c. Metode-metode ijtihad
· Ijma
Menurut bahasa artinya, menghimpun, berkumpul, dan menyusun. Menurut istilah , ijma yaitu kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa tentang hukum sesuatu.
· Istihsan
Menurut bahasa menganggap baik suatu hal (mengutamakan kebaikan atau keadilan). Menurut istilah yaitu menjalankan keputusan berdasarkan kebaikan untuk kepentingan umum.
· Qiyas
Menurut bahasa artinya adalah mengukur atau mempersamakan sesuatu dengan yang lain. Menurut istilah yaitu mempersamakan suatu kejadian/hukum yang belum ada nash mengenai hukumnya.
· Mashlahah Mursalah
Secara bahasa bermakna mendatangkan kebaikan bersama. Menurut istilah yaitu menetapkan hukum hukum berdasarkan suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan dengan syara.
· Istishab
Yaitu menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan sebelumnya, sampai ada dalil yang mampu mengubahnya.
· Saddudz Dzari’ah
Melarang sesuatu yang mubah dengan maksud untuk menghindarkan kemudaratan yang mungkin akan timbul.
· Urf, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan adat kebiasaan, selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan Islam.

d. Syarat-syarat mujtahid
Menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara yang mudah, ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki dan dikuasai. Berikut ini dikemukakan beberapa syarat antara lain:
1. Mengatahui dan memahami al-Quran dan hadis dengan baik.
2. Mengatahui bahasa Arab dari segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang ditetapkan dengan ijma.

e. Kebenaran hasil ijtihad
Ijtihad adalah penggunaan akal pikiran untuk memahami nash yang penunjukan zanny, serta memecahkan masalah persolan yang tumbuh di masyarakat berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Oleh karena itu hasil ijtihad kebenarannya relatif, karena mencangkup kemampuan nalar mujtahid.

C.    Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :

a.     Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.

b.     Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum  (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hokum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya.
Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

c.      Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.

d.     Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 : 90).

D.    Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hukum Islam. Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  (sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu, perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah terhadap hukum agama  (hukum Islam) yang dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia (1962), Syafrudin Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang diatur menurut hukum Islam.

Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam dalam pinjam meminjam,  jual beli, sewa menyewa dan sebagainya dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia.
            Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
            Dari pembahasan yang sudah dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di Indonesia dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia. Adapun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara, memang harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah. Apabila Islam sudah bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Bila perlu, Law Enforcement dalam penegakan hukum Islam dengan hokum positif, yaitu melalui perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berfikir wajib ada. Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun dari segi pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan bahwa, umat Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan Allah. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.


Makalah Agama Islam Kelompok 3
Dosen: Ibu Eva

FILSAFAT DALAM ISLAM


 DEFINISI dan KONSEP FILSAFAT DALAM ISLAM

Para ulama yang menganggap filsafat sebagai ilmu sesat adalah para ulama arab saudi dan seluruh ulama di dunia ini yang beraliran salafy/wahaby/ ahlus sunnah wal jamaah. Dalam berbagai buku dan majalah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu sesat yang bertentangan dengan ajaran islam. Namun harus diingat bahwa definisi ilmu filsafat yang dianggap sesat adalah ilmu filsafat yang bertentangan dengan ajaran islam. Imam Ghazali telah menulis buku yang mengkritik filsafat dan menyatakan kafirnya berbagai ajaran fisafat. Namun kemudian Ibnu Rusyd (pengarang kitab bidayatul mujtahid) menulis buku yang membantah buku Imam Ghazali tersebut, dikabarkan bahwa Ibnu Rusyd membela filsafat, mungkin filsafat yang dibela ibnu rusyd adalah filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam.

Tiga Istilah
Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum untuk filsafat. Pertama, istilah hikmah,yang tampaknya sengaja dipakaiagar terkesan bahwa filsafat itu bukan barang asing, akan tetapi berasal dari dan bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah (al-hukama’ as-sab‘ah)–yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.
Demikian pula al-Kindi, yang menerangkan bahwa ‘falsafah’ itu artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan). Sementara Ibn Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa t-tashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ sedemikian makaiatelah mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.
Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafaz ‘hikmah’ telah dikorupsi untuk kepentingan filsuf, karena ‘hikmah’ yang dimaksud dalam kitab suci al-Qur’an itu bukan filsafat, melainkan Syari‘at Islam yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.
Yang kedua adalah istilah falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Definisinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari kebenaran, manakala filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat merupakan usaha manusia mengenal dirinya. Demikian tulis al-Kindi.
Sekelompok cendekiawan bernama‘Ikhwan as-Shafa’ menambahkan: ‘Filsafat itu berangkat darirasaingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang anda tahu (al-falsafah awwaluha mahabbatul-‘ulum ... wa akhiruha al-qawl wal-‘amal bi-ma yuwafiqul-‘ilm)’.
Ketiga, istilah ‘ulum al-awa’il yang artinya ‘ilmu-ilmu orang zaman dulu’. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi. Termasuk diantaranya ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.

Dalam al-Qur`an dan Hadits, kata al-hikmah sering kali ditemukan. Ulama Muslim yang tersebar mencoba mendefinisikan terma al-hikmah ini, dan juga istilah falsafah, yang telah masuk ke dalam bahasa Arab melalui terjemahan Yunani pada Abad ke-8 atau 9. Di satu sisi, apa yang disebut filsafat dalam bahasa Inggris, ternyata ditemukan pula dalam konteks peradaban Islam. Bahkan tidak hanya pada aliran-aliran filsafat, tetapi juga beberapa disiplin lain seperti kalâm, ma’rifah dan ushûl fiqh. Dan di sisi lain, dengan berbedanya latar belakang para ulama itu, maka berbeda juga pandangan dan pemahamannya tentang definisi dari hikmah dan falsafah. Tentunya hal ini menyisakan satu pertanyaan penting; sejauh manakah perhatian Islam terhadap filsafat?
Dalam sejarah Islam, istilah-istilah yang ada dalam kajian filsafat Islam acapkali diperdebatkan oleh para filosof, ulama kalam dan terkadang oleh kaum Sufi. Dari masa ke masa mereka membincangkan definisi terma-terma itu tanpa berhasil mencapai titik temunya. Pada perjalananya ini, istilah hikmah dan falsafah masih terus digunakan.
Sedangkan terma-terma derivatif seperti hikmah ilâhiyyah dan hikmah muta’âliyyah berkembang di aspek lain dan memunculkan pemaknaan-pemaknaan baru, terutama dalam alirannya Mulla Sadra. Menariknya, hikmah, dalah satu terma yang masih diperdebatkan ini sering direbutkan oleh para sufi, mutakallimîn dan filosof.
Dasar agama yang mereka gunakan pun sama; hadits Nabi yang berbunyi “alayka bi al-hikmah? Fa`inna al-khayr fi sal-hikmah”. Kalangan sufi semisal Tirmidhi dan Ibnu Arabi menyebut kebijaksanaan yang tersingkap melalui setiap manifestasi dari simbol sebagai hikmah sebagaimana termaktub dalam masterpiece-nya bertajuk Fushûsh al-Hikâm. Sedangkan beberapa mutakallimîn seperti Fakhr al-Din al-Razi mengklaim bahwa yang disebut Hikmah adalah kalâm, bukan filsafat. Ibnu Khaldun pun mengamini pandangan ini dengan menyebut Kalam muta`akhkhirîn sebagai filsafat atau Hikmah.
Dalam tulisan ini akan coba diuraikan pemahaman para filosof Muslim tentang definisi dan arti konsep filsafat serta istilah hikmah dan falsafah. Tentu saja pemahaman ini juga mencakup apa yang dipahami oleh bangsa Yunani tentang istilah philosophia dan beberapa definisi dari sumber-sumber Yunani, agar dapat diketahui bagaimana istilah dan definisi tersebut masuk ke dalam Bahasa Arab.
Beberapa definisi dari sumber-sumber Yunani yang dikenal kalangan filosof Muslim adalah :
Filsafat (al-falsafah) adalah pengetahuan tentang segala eksistensi (keberadaan) sebagaimana ia ada.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang seluruh hal yang sakral dan profan.
Filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian, yang berarti, mencintai kematian itu sendiri
Filsafat adalah berusaha menjadi seperti-Tuhan dalam batas kemampuan manusia.
Filsafat adalah adalah seni dari segala seni dan ilmu dari segala ilmu.
Filsafat adalah sinonim dari hikmah.
Para Filosof Muslim mengkompromikan definisi-definisi filsafat yang mereka peroleh dari sumber-sumber klasik ini dengan apa yang mereka kenal dalam istilah Qur`ani sebagai Hikmah, seraya meyakini bahwa asal hikmah itu sendiri adalah suci. Filosof Muslim pertama, Abu Ya’qub al-Kindi menulis dalam bukunya “ On First Philosophy “:
Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang realita segala sesuatu dalam batas kemampuan manusia, karena orientasi filosof dalam pengetahuan teoretis adalah untuk mendapatkan kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis adalah berprilaku sesuai dengan kebenaran. Al-Farabi di samping menyetujui pengertian ini, juga menambahkan pembedaan antara filsafat yang didasari oleh kepastian (al-yaqîniyyah) seperti halnya demonstrasi (baca : burhan), dan filsafat yang didasari oleh opini (al-madznûnah) seperti halnya dialektika dan sophistry. Beliau juga bersikeras menyatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan dan berkaitan dengan segala sesuatu yang ada. Ibnu Sina juga menerima definisi-definisi awal ini sambil membuat penjelasan-penjelasannya sendiri.
Dalam bukunya “’Uyûn al-hikmah”, dia mengatakan: “Al-hikmah (filsafat) adalah penyempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi dan pembenaran (tashdîq) realita teoretis dan praktis sesuai dengan tingkat kemampuan manusia”. Namun, ia beranjak lebih jauh dalam kehidupan setelah kematian untuk membedakan antara Filsafat Paripatetik dan apa yang ia sebut sebagai “Filsafat Oriental” (al-hikmah al-masyriqiyyah) yang tidak hanya didasari oleh rasionalisasi namun juga disertai pengetahuan [sadar], yang sekaligus juga menjadi batu awal bagi Filsafat Iluminasi Suhrawardi.
Murid utama Ibnu Sina, Bahmanyar, di saat yang sama juga mendefinisikankan filsafat hampir dekat dengan pengetahuan tentang segala yang ada, sebagaimana yang dilakukan Ibnu Sina dalam karya-karya Peripatetiknya, seperti al-Syifâ`, mengulang ajaran Aristotelian bahwa filsafat adalah ilmu tentang segala hal yang ada sebagaimana ia ada. Bahmanyar dalam pembukaan bukunya “Talil”, menulis: “Tujuan ilmu-ilmu filosofis adalah mengetahui segala yang ada”.

Pemikiran Isma’ili dan Hermetico-Pythagorean, yang dalam perkembangannya lebih dikenal sebagai Filsafat Peripatetik (sekalipun berbeda dalam perspektif filosofis), juga mendefinisikan filsafat tidak jauh dari para Filosof Peripatetik di atas, seraya memberikan penegasan lebih jauh pada hubungan antara aspek teoretis filsafat dan dimensi praktisnya, antara berpikir secara filosofis dan mencapai kehidupan yang bahagia. Jaringan dan hubungan yang terlihat sejak aliran filsafat Islam awal ada, menjadi lebih kentara semenjak Suhrawardi. Kemudian, hakîm dalam masyarakat Islam tidak hanya diartikan sebagai orang yang mampu mengkaji konsep-konsep abstrak secara cerdas, namun juga orang yang bisa hidup dengan mengamalkan kebijaksanaan (al-hikmah) yang ia pahami secara teoretis.

Bukan gagasan Barat modern yang berkembang di dalam dunia Islam, namun apa yang digulirkan oleh Ikhwan al-Shafa (abad 4-10) lah yang memberikan pengaruh kapanpun filsafat Islam berkultivasi. Ikhwan al-Shafa menulis, “Permulaan Filsafat adalah kecintaan pada ilmu, dilanjutkan dengan pengetahuan tentang realitas segala sesuatu yang ada sesuai dengan kemampuan manusia, dan berakhir pada perkataan serta perbuatan yang sesuai dengan pengetahuan tersebut”.
Konsep filsafat yang berkaitan dengan pencapaian kebenaran tentang asal segala wujud dan menggabungkan pengetahuan akal dengan penyucian dan penyempurnaan wujud diri manusia ini, berlaku sampai sekarang di manapun tradisi filsafat Islam berlanjut, dan pada kenyataannya, telah menjadi representasi tradisi filsafat Islam yang paling sempurna hingga hari ini.

Para pakar abad 14-20 seperti Mirth Ahmad Ashtiyani, pengarang buku “Ndmayi Rahbardn-i Dmuzish-i Kitdb-i Takwin” (Petunjuk Pengajaran Tentang Kitab Penciptaan) ; Sayyid Muhammad Kazim Ansar, pengarang sekian banyak karya termasuk Wahdah Wujûd (Kesatuan Transenden Wujud); Mahdi Ilahi Qumsha’i, pengarang “Hikmat-i Ildhi Khwdss wa Amm” (Filsafat / Teosofi - Umum Dan Khusus) dan Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabataba`i, pengarang sejumlah karya terutama “Usul--i Falsafa -yi Rializm” (Prinsip-prinsip Filsafat Realisme), semuanya menulis tentang definisi filsafat sesuai dengan yang telah disebutkan di atas dan mereka hidup sesuai dengan pemahaman tersebut.

Masing-masing dari karya dan hidup mereka, merupakan testimoni tidak hanya terhadap seribuan tahun lebih perhatian filosof Muslim atas makna konsep dan istilah filsafat, tapi juga terhadap signifikansi definisi Islami atas falsafah sebagai sebuah realita yang mengubah akal dan jiwa dan yang tidak pernah terpisah dari penyucian spiritual dan kesalehan yang diimplikasikan oleh istilah “hikmah” dalam konteks Islam.


Kontroversi Filsafat Islam
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat –bukan (i) sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat (ii) sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, danliberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakanakal, melecehkanNabi, dansebagainya.
Di abad kelima Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur tiga doktrin filsafat: pertama, keyakinan filosof bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detil; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari qiyamat. Fatwa yang begitu keras melarang pengajaran filsafat juga dikeluarkan oleh Ibn as-Sholah: ‘Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya akan keutamaan Syari‘ah suci yang ditopang dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa mempelajarinya akan bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terpedaya oleh setan.’
Adapun filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq) dan membatalkan yang batil (ibthal al-bathil) secara rasional, persuasif dan elegan, maka bisa dikategorikan fardu kifayah. Seperti rasa ingin tahu Nabi Ibrahim yang mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati. Allah balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?” Nabi Ibrahim menjawab, “Aku percaya, akan tetapi[akubertanya] supaya hatiku tentram (mantap).” Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan kebenaran sekaligus menghapus keraguan.


Makalah Agama Islam
Dosen: Ibu Eva

AKHLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM


Akhlak dalam Islam

Kata akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu jama’ dari kata khuluqun yang secara etimologis bermakna tabi’at, budi pekerti, adat dan kebiasaan. Sedangkan pendekatan lain bisa dari kata khalaqa sangat erat kaitannya dengan kata khaliq yang menciptakan dan makhluk yang diciptakan. Dari sini ada korelasi hubungan yang baik antara khaliq (Tuhan) dengan makhluk (manusia).

Definisi  akhlak secara terminologis :
1.      Ibnu Maskawaih menjelaskan bahwa akhlak adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa ia memikirkan.
2.      Al-Ghazali akhlak adalah keadaan jiwa yang menumbuhkan perbuatan dengan mudah dilakukan tanpa perlu berfikir lebih lama.
3.      Ahmad Amin, akhlak adalah kehendak yang dibiasakan.
Model akhlak yang yang harus kita contoh dan teladani adalah akhlak Rasulullah Muhammad SAW. Sesuai firman Allah SWT dalam QS. Al-Qalm, (68):4, “Sesungguhnya, Engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti (khuluqin) yang luhur”. Karena itu, Rasulullah SAW merupakan teladan bagi umat manusia dalam mewujudkan akhlak mahmuda, akhlak yang islami. Hal ini dipertegas dalam QS. Al-Ahzab, (33):21, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak menyebut Allah.” Bahkan Nabi sendiri dalam sabdanya menjelaskan, “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Akhmad)
Adakah persamaan antara etika, moral dengan akhlak ? Pengertian etika, moral, dan akhlak terkesan sama, apalagi kalau ketiga istilah itu disandarkan pada Islam. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dijelaskan, bahwa kata “etika” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos” artinya adat kebiasaan. Etika bisa saja merupakan istilah lain dari akhlak atau moral, tetapi memiliki perbedaan yang substansial karena konsep akhlak berasal dari pandangan agama terhadap tingkah laku manusia, sedangkan etika adalah pandangan tentang tingkah laku manusia dalam persfektif filsafat. Kalau ada persamaan adalah sama-sama membicarakan tabiat manusia.
Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sisyem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Sementara moral secara etimologis berasal dari bahasa latin “mores”, kata jamak dari “mos” yang berarti adat kebiaasaan, atau tata susila. Dalam hal ini yang dimaksud adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima masyarakat, mana yang baik dan wajar.
Ciri Perbuatan Akhlak:
1.      Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2.      Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3.      Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4.      Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5.      Dilakukan dengan ikhlas.
Ruang lingkup Kajian Ilmu Akhlak:
·         Perbuatan-perbuatan manusia menurut ukuran baik dan buruk.
·         Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut.
·         Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif. Manfaat mempelajari Ilmu Akhlak:
a.       Menetapkan criteria perbuatan yang baik dan buruk.
b.      Membersihkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.
c.        Mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia.
d.      Memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau buruk.
Pembagian akhlak
a.       Akhlak kepada Allah SWT
1.      Tauhid
Tauhid artinya mengesakan Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu. QS. Al-Ikhlas, (122):1, “katakanlah (Muhammad) Allah itu esa. Menyekutukan Allah dengan lainnya adalah syirik dan orangnya disebut musyrik. Dosa syirik kepada Allah adalah dosa besar, bahkan dosa yang tidak terampuni.
2.      Taqwa
Definisi taqwa yang paling popular adalah “memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya”. Taqwa makna asal adalah  pemeliharaan diri. Diri harus dipelihara dari yang ditakuti, dan yang paling ditakuti adalah siksa Allah SWT. Muttaqin adalah orang-orang yang memelihara diri mereka dari azab dan kemarahan Allah dengan cara berhenti di garis batas yang telah ditentukan, melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
3.      Tawakkal
Tawakkal adalah membebaskan hari dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatu kepada-Nya. Tawakkal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal 9 ikhtiar. Tidaklah dinamai tawakkal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Rasulullah pernah menegur seorang badui yang tidak mengikat untanya karena menurut dia itulah cerminan sikap tawakkal. “ikat dan tawakkallah” (HR. Tarmidzi, Ibnu Khuizaimah, dan Tabrani). Sebab apabila seseorang telah berusaha dengan sunguh-sungguh untuk menggapai sesuatu, mengerahkan segala tenaga dan pikiran, membuat perencanaan dan lain sebagainya, kalau kemudian gagal, tidak sesuai yang diharapkan dia tidak putus asa, ia bertawakkal kepada Allah.
4.      Taqarrub
Taqarrub adalah cara mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan melaksanakan ibadah yang wajib, dan ibadah sunnah lainnya.
5.      Taubat
Taubat berakar kata taaba yang berarti kembali. Orang yang bertaubat kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu (yang jelek) menuju sesuatu (yang baik).
b.     Akhlak terhadap makhluk
Akhlak terhadap makhluk dibagi 2 yaitu akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap alam semesta.

Akhlak pada manusia
1.      Akhlak pada diri sendiri
Sebagai hamba Allah, manusia diwajibkan untuk selalu bersikap tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Manusia yang tidak mau tunduk dan patuh kepada-Nya disebut manusia yang ingkar, yang dalam bahasa Al-Quran disebut dengan kafir. Golongan kafir ada 2 macam :
1.      Kafir aqidah yaitu orang yang tidak menerima islam sebagai agamanya.
2.      Kafir ni’mat yaitu orang yang mengakui islam dengan utuh dan baik.
Pengaruh akhlak terhadap Allah pada diri pribadi ialah :
1.      Dapat bersikap wara’ atau penuh pertimbangan dalam bertindak, apakah perbuatan itu sesuai dengan hukum Allah, tidak melanggar hak orang lain dan sebagainya.
2.      Pandai mensyukuri nikmat.
3.      Sabar dan tawakkal.
4.      Optimis dan sportif.
5.      Tawadhu’ atau rendah hati.
6.      Syaja’ah atau berani menegakkan kebenaran.
7.      Ikhlas dan ridho.
8.      Zuhud berarti tidak diperdayakan oleh godaan duniawi dan hawa nafsu, hidup sederhana, dan tidak berlebihan baik menurut dirinya maupun menurut lingkungan sekitarnya, terutama menurut ketentuan Allah, serta tidak tergolong mubazzir.
c.       Akhlak terhadap keluarga atau pada orang lain
d.      Akhlak dalam kehidupan masyarakat dan bernegara
e.       Akhlak pada alam lingkungan
a.   Akhlak terhadap alam nyata
b.   Akhlak terhadap alam gaib

Tasawuf dalam islam
1.      Pengertian tasawuf
Ajaran tasawuf (sufisme) telah sangat populer selama berabad-abad dalam dunia islam, hingga sekarang ini. Tasawuf adalah salah satu bidang kajian studi islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan pada aspek batiniah yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Istilah tasawuf sendiri berasal dari kata “sufi” yang mengandung arti suci. Secara umum kata itu terdiri dari 3 huruf, yaitu shad, wau, dan fa, dibaca “shawafa”. Shawafa berasal dari bahasa arab, yaitu :
a.   Shafwaa atau safwe, yang berarti orang-orang bersih, atau orang-orang terpilih.
b.   Shuffa, disebut ahlush-shuffah yaitu orang-orang beranda.
c.    Shuuf, yang berarti bulu domba.
d.   Shaaf, yaitu barisan atau deret.
e.   Teoshofie, bahasa Yunani teos bermakna Tuhan, shopos bermakna hikmat.
Latar belakang munculnya tasawuf dalam islam
                                                                                   Munculnya aliran tasawuf dalam islam para ahli berbeda pendapat , ada yang mengatakan tasawuf muncul sesudah umat islam mempunyai kontak atau hubungan dengan filsafat Yunani, agama kristen, agama hindu, budha, dan katolik. Sehingga muncul anggapan bahwa tasawuf lajir dari luar islam. Pendapat ini terjadi pro dan kontra karena dalam sejarah kehidupan rasul ternyata mengandung nilai-nilai sufisme. Bila ditelusuri banyak ayat dan hadist serta perilaku Rasulullah SAW yang sama dengan nilai-nilai yang ada dalam tasawuf.
Sumber Ajaran Tasawuf:
·         Unsur Islam: - Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk: mencintai Tuhan (QS. Al-Maidah: 54), bertaubah dan mensucikan diri (QS> At-Tahrim: 8), manusia selalu dalam pandangan Allah dimana saja (QS. Al-Baqarah: 110), Tuhan memberi cahaya kepada HambaNya (QS. An-Nur: 35), sabar dalam bertaqarrub kepada Allah (QS. Ali Imran: 3) - Hadis Nabi seperti tentang rahasia penciptaan alam adalah agar manusia mengenal penciptanya. - Praktek para sahabat seperti Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Talib, Abu Zar Al-Ghiffari, Hasan Basri, dll.
·         Unsur Non Islam:
a.       Nasrani: Cara kependetaan dalam hal latihan jiwa dan ibadah.
b.      Yunani: Unsur filsafat tentang masalah ketuhanan.
c.       Hindu/Budha: mujahadah, perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain.

Landasan teologis  tasawuf dalam islam
Landasan atau dasar utama tasawuf juga adalah Al-Quran dan hadist karena di dalam Al-Quran lah terkandung kedamaian, ketenangan, petunjuk-petunjuk, dan hukum-hukum Allah yang benar. Seluruh kandungan Al-Quran adalah dasar tasawuf itu sendiri.
Maqamat wa Al-Ahwal
Maqamat
Adalah bentuk jama dari kata maqam. Maqam adalah disiplin keruhanian yang ditunjukkan oleh seseorang berupa pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh melalui usaha-usaha tertentu. Sedangkan ahwal jama dari kata hal adalah sikap rohaniah yang dianugerahkan kepada manusia, tanpa diusahakan olehnya. Maqam menurut pembagian dan susunan Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam bukunya Kitab al-luma’ fi’t Tashawwuf ada 7 yaitu :
1.      Maqam Taubat
Taubat yang dimaksudkan sufi ialah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.
2.      Maqam Wara’
Pengertian sufi wara adalah meninggalkan segala yang dalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu.
3.      Maqam Zuhud
Zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Menurut Al-Junaid zuhd adalah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.
Menurut Ibn Qadamah al-Muqaddasi zuhd ialah pengalihan keinginan dari sesuatu kepada yang lebih baik.
Menurut Imam al-Gazali zuhd ialah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauhi daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.
Menurut Imam al-Qusyairi zuhd ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.
4.      Maqam Fakir
Fakir ialah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
5.      Maqam Sabar
Sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam meneruma segala cobaan-cobaan yang ditimpakan pada diri kita.
6.      Maqam Tawakkal
Dari segi bahasa tawakkal merupakan bentuk kata dari al-wakalah yang mengandung arti menyerahkan, menyadarkan, dan memercayakan.
7.      Maqam Ridha
Al-Junaid mengartikan ridha dengan (tarku al-ikhtiar) “meninggalkan usaha”. Sedangkan Dzu al-Nun al-Misri, ridha ialah : menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati (sururul qalbi bimarri al-qadha).
Pergeseran tasawuf ke tarekat
Pengertian tarekat (thariqah, jamaknya taraiq) secara etimologis antara lain berarti jalan (khaifiyah), metode, sistem (al-uslub), haluan (madzhab), atau keadaan (al-halah). Secara istilah tarekat bisa bermacam-macam pengertian yakni :
a.       Perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
b.      Tarekat  adalah organisasi keagamaan dalam Islam yang menghimpun angota-anggota sufi yang sepaham bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c.       Tarekat bisa juga bermakna wirid atau dzikir-dzikir yang dirumuskan sedemikian rupa yang harus dibaca dengan jumlah tertentu.
d.      Tarekat berasal dari kata “thariqah” yang artinya “jalan”.
Tasawuf modern/neosufisme
Beberapa contoh penerapan atau hubungan tasawuf dengan ilmu-ilmu sekuler, misalnya :
a.       Pertemuan tasawuf dengan fisika atau sains modern yang holistik.
b.      Pertemuan tasawuf dengan ekologi yang menyadarkan mengenai pentingnya kesinambungan alam ini dengan keanekaragaman hayati.
c.       Pertemuan tasawuf dengan penyembuhan alternatif yang memberikan kesadaran bahwa masalah kesehatan bukan hanya bersifat fisikal.
d.      Pertemuan tasawuf dengan psikologi baru yang menekankan segi transpersonl.
Hubungan tasawuf dengan akhlak
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesama manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.
                Jika kata “tasawuf” dengan kata “akhlak” disatukan, akan terbentuk sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Tasawuf adalah proses pendekatan diri pada Tuhan dengan cara mensucikan hati sesuci-sucinya.  Dalam tasawuf akhlaki, sistem pembinaan akhlak menganut 3 cara yaitu :
1.      Takhalli
Sebagai langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang sufi dengan cara mengosongkan diri dari akhlak tercela serta memerdekakan jiwa dari  hawa nafsu duniawai.
2.      Tahalli
Sebagai upaya mengisi jiwa dengan akhlak yang terpuji.
3.      Tajalli
Yaitu terungkapnya cahaya kegaiban atau “nur gaib”.

Makalah Agama Islam
Dosen: Ibu Eva